Adapun SKB yang dipermasalahkan (GIJ) dan elemen masyarakat dan para tokoh agama, suku ras untuk dicabut dan merupakan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 2006/No. 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala atau Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Yang jadi permasalahan adalah pasal 13 dan 14.
Berikut bunyi pasal 13 dan 14 mengenai pendirian rumah ibadah tersebut:
(1) Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung;
(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi :
a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah, Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);
b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa,
c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota,
d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota,
(3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b, belum terpenuhi, pemerintah Daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan Rumah ibadat.
Dengan peraturan dua menteri untuk mendirikan tempat ibadat sangat mempersulit umat beragama harus mengantongi ijin dan dukungan yang tertuang di pasal 13 dan 14, perlunya Mahkamah Agung untuk mencabut peraturan SKB 2 menteri,
Artur Yudi Wardana selaku team kuasa Hukum menjelaskan warga Negara berhak untuk beribadat dan keberatan dengan peraturan SKB 2 menteri, dan mendaftarkan gugatannya permohonan ke Mahkamah Agung dengan membawa bukti-bukti peraturan SKB 2 Menteri dan temuan - temuan di lapangan di serahkan dan diregister mahkamah agung menunggu jawaban 14 hari setelah di terimanya gugatannya,” tuturnya,
Dan Artur Yudi Wardana berharap, Mahkamah Agung membatalkan peraturan bersama menteri agama dan menteri dalam Negeri nomor, 8 dan 9 pasal, 13 dan 14”, tutupnya. (Red)