MEDIAMITRAPOL.COM, SUMATERA UTARA – Siapa yang tidak kenal dengan PT Toba Pulp Lestarti Tbk di dunia industri pulp (bubur kertas). Inilah salah satu perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) penghasil pulp di Indonesia, dengan kegiatan kerja di kawasan Tapanuli Provinsi Sumatera Utara.
Tahun 1984 perusahaan ini berdiri dengan nama PT. Inti Indorayon Utama, sampai akhirnya pasca reformasi berganti nama dan beroperasi kembali pada tahun 2003. Perusahaan ini lebih dikenal dengan sebutan TPL, wilayah operasional pabriknya berada di Desa Sosor Ladang, Pangombusan, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba.
Dalam beberapa hari belakangan perseroan pemegang sertifikat Perusahaan Objek Vital Nasional ini, diduga digempur oleh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan berbagai isu sosial, kriminalisasi, kerusakan lingkungan dan pelanggaran adat istiadat masyarakat setempat, yang dikemas dengan memakai hukum hak ulayat (Tanah Adat).
Salah paham yang berakhir dengan perselisihan antara perusahaan dan masyarakat Desa Natumingka, Kecamatan Bobor Kabupaten Toba yang belum lama terjadi, adalah satu dari sejumlah peristiwa yang kerap kali terjadi sebagai akibat dari penyebaran isu dan provokasi LSM kepada masyarakat awam.
Direktur TPL Janres Silalahi mengatakan dalam kegiatan usaha industri pulp, TPL mengantongi izin dari pemerintah melalui Kementerian Kehutanan RI, dengan Surat Keputusan nomor 493/Kpts-II/92 tanggal 1 Juni 1992 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI). Bahkan telah beberapa kali mengalami perubahan.
Perubahan terakhir dengan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor SK.682/Menlhk/Setjen/HPL.0/9/2019 tanggal 11 September 2019, Tentang Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 493/KPTS-II/1992 tanggal 1 Juni 1992, Tentang Pemegang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri kepada PT Inti Indorayon Utama.
Janres Silalahi mengutarakan luasan lahan Hutan Tanaman Industrial (HTI) yang diberikan pemerintah kepada TPL 184.486 hektar yang tersebar di beberapa kabupaten/kota, diantaranya areal konsesi Kabupaten Simalungun, Kabupaten Asahan, Kabupaten Toba, Kabupaten Pak-Pak Barat, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Dairi, Kabupaten Samosir, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kota Padang Sidempuan, dengan Eucalyptus sebagai tanaman pokok untuk produksi pulp.
Dalam perjalanan mengelola industri pulp, TPL mendapat pengakuan berupa penghargaan atau award yang diberikan Pemerintah Indonesia. Adapun award (penghargaan) yang diterima TPL baru-baru ini adalah meraih Anugerah Penghargaan Proper Nasional Kategori Biru, periode penilaian tahun 2019-2020 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Proper Nasional adalah Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan, yang dikembangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sejak tahun 1995. Program ini juga memotivasi perusahaan untuk selalu menjaga komitmen dalam penanganan lingkungan hidup.
“Kami sangat bersyukur perusahaan masih diberi kepercayaan menerima penghargaan Proper kategori Biru dari pemerintah, sebagai buah usaha kegiatan dan upaya perusahaan dalam pengeloaan lingkungan, dan pelaksanaannya juga sesuai dengan dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Janres Silalahi, Kamis (17/6/2021).
Lebih lanjut Janres juga mengatakan TPL juga menerima penghargaan untuk ke lima kalinya dari Kementerian Tenaga kerja (Kemenaker) RI melalui pencapaian kinerja SMK3 (Sistem Management Keselamatan dan Kesehatan Kerja) setelah sebelumnya juga menerima penghargaan serupa pada tahun 2006, 2008, 2012, 2014, 2017.
Bahkan perusahaan yang saat ini lagi gencar di isukan LSM tanpa bukti sebagai perusak lingkungan,juga menerima sertifikasi tertinggi dalam hal legalitas (keabsahan kayu).
Penghargaan yang diterima oleh TPL ini merupakan program tahunan dengan tujuan memacu perusahaan untuk menggunakan kayu yang legal dalam proses produksinya.
Penghargaan tersebut dilaksanakan oleh badan independen PT. SGS (Societe Générale de Surveillance) yang merupakan lembaga sertifikasi yang memastikan bahan baku yang digunakan perusahaan dalam menghasilkan bubur serta kayu berasal dari sumber kayu yang berkelanjutan.
“Sejumlah prestasi dan penghargaan telah diterima perusahaan dengan kerja keras para pekerja dan manejemen, kami juga mendapat penghargaan melalui program Perkebunan Kayu Rakyat (PKR) yang menjalani sertifikasi legalitas kayu, melalui kegiatan verifikasi legalitas kayu berdasarkan prinsip, kriteria dan indicator.
Seluruhnya ditetapkan sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Nomor P.14/PHPL/SET/4/2016, tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) pada lampiran yang relevanjuncto Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Nomor: P.15/PHPL/PPHH/HPL.3/8/2016,” ungkap Janres Silalahi sambil menceritakan berbagai penghargaan lainnya yang diterima perusahaan.
Sayangnya berbagai pencapaian dan penghargaan dari negara maupun berbagai lembaga swasta tingkat nasional maupun Internasional, seakan tidak ada artinya hanya karena penyebaran isu negatif tanpa bukti dan fakta yang diduga kuat sarat dengan kepentingan kelompok tertentu.
Sejumlah media yang tidak terprovokasi dengan isu yang disebarkan oleh sejumlah LSM, merasa tertarik untuk melakukan investigasi apa gerangan yang terjadi pada perusahaan ini. Tidak adanya bukti dan fakta mengenai kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, kriminalisasi masyarakat mengatasnamakan adat istiadat, kurang respon sosialnya perusahaan kepada masyarakat.
Faktanya adalah pengucuran dana Coorporate Social Responsibility (CSR) setiap tahunnya terlaksana, dan dilaporkan kesejumlah instansi pemerintah daerah dan pusat, serta lembaga pengawasan swasta nasional hingga tim independen selaku pengawas yang dibentuk oleh Gubernur Sumatera Utara. ini membuktikan TPL Perusahaan Objek Vital Nasional Korban Isu Sosial Dengan Kemasan Tanah Adat.
Tuntutan masyarakat dari isu perampasan tanah adat saat ini menjadi fokus utama para LSM yang dinilai punya kepentingan. Padahal perusahaan bubur kertas ini tidak pernah menguasai lahan tanah adat masyarakat, dan hanya mengantongi izin dari pemerintah selaku pemilik lahan.
Mengutip dari penyataan Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) wilayah IV Balige, Leonardo Sitorus beberapa waktu yang lalu, bahwa secara hukum wilayah Natumingka masih berada di konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL). Sehingga perusahaan pengelola pemanfaatan hasil hutan, dibebankan untuk melakukan pengawasan dan pengamanan lahan, bila tidak dilakukan maka akan dievaluasi.
“Terkait Natumingka mulai dari lahan register sudah merupakan kawasan hutan, dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SKMenhut) tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1984, kawasan ini menjadi kawasan Hutan Produksi. Kemudian hal tersebut juga diatur dalam SKMenhut nomor 44 tahun 2005 yang menyebutkan kasawasan tersebut menjadi kawasan hutan lindung,” Ungkap Leonardo Sitorus.
Lebih lanjut dia juga menjelaskan SKMenhut nomor 44 tahun 2005 kembali direvisi, dan diganti dengan SKMenhut Nomor 579 tahun 2014 yang menyebutkan, kawasan tersebut kembali menjadi kawasan Hutan Produksi (HP) tetap, dan dilakukan tapal batas sehingga dikembalikan fungsi awalnya.
Kemudian Leonardo Sitorus juga menjelaskan kementrian kembali mengeluarkan SKMenhut nomor 1076 tahun 2017 tentang Perkembangan Pengukuhan kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara.
Dalam surat keputusan tersebut dikatakan wilayah Natumingka adalah kawasan Hutan Produksi, sehingga tetap masih dikelola oleh perusahaan (TPL).
“Pemerintah juga mengeluarkan SKMenhut nomor 8088/Menlhk-PKTI/KUH/PLA.2/11/2019 tentang perkembangan tapal batas kawasan hutan di provinsi Sumatera Utara, isinya kawasan Natumingka tetap dalam lahan konsesi TPL dan dibebankan untuk menjaga kemanan dan pengawasan,” tegasnya lagi.
Menurut Leonardo Sitorus, pihaknya juga telah melakukan investigasi dan inventarisir, terhadap kawasan Natumingka yang diklaim sebagai tanah adat oleh masyarakat. Termasuk keberadaan situs makam, bekas persawahan dan bekas perladangan. Hasilnya memang kawasan terebut adalah wilayah konsesi (HTI) perusahaan.
Hasil investigasi dan inventarisir dari KPH IV Balige telah disampaikan melalui surat kepada masyarakat Natumingka, dan ditembuskan kesejumlah instansi terkait termasuk pihak kepolisian Polres Toba. Namun untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, KPH IV Balige memberikan rekomendasi diantara kedua belah pihak.
“Masyarakat harus mengurus klaim hutan adat secara legal formal, ketika telah ditetapkan oleh menteri bahwa kawasan tersebut adalah hutan adat, maka masyarakat dapat mengelola kawasan yang dimaksud sebagai hutan adat.
Atau bila masyarakat mengklaim bahwa lahan tersebut adalah milik keturunan opung (Nenek Moyang) mereka, maka dapat dilakukan pelepasan kawasan hutan melalui Tanah Objek Reformasi Agraria (TORA) sesuai persyaratan dan undang-udang yang berlaku.
Selagi belum penetapan dari yang berwenang tentunya status hukum kawasan hutan tersebut adalah hutan produksi tetap yang dibebankan kepada TPL sesuai dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) HTI TPL,” terangnya lagi.
Kini nasib perusahaan yang memiliki 7000 pekerja yang berasal dari masyarakat lokal setempat ini, tidak tinggal diam. Berbagai dukungan dari sejumlah Serikat Pekerja/Buruh dan ribuan pekerjanya, serta puluhan ribu orang dari keuarga pekerja terus berdatangan.
Sejumlah pekerja perwakilan dari 6 organisasi Serikat Pekerja/Buruh Rabu (16/6/2021), mendatangi kantor Bupati Kabupaten Toba untuk berdialog dan menyampaikan rasa keberatan mereka, terhadap penyebaran isu negatif dan pencemaran nama baik perusahaan PT. Toba Pulp Lestari Tbk (TPL).
"Kami tidak berpihak kepada siapapun. Siapa yang bersalah supaya diberi hukuman setimpal karena atas kejadian tersebut sudah menjadi ancaman baru pada keamanan dan kehidupan buruh," ujar Kordinator Aliansi Serikat Pekerja/Buruh di Toba, Berlin Marpaung, di Aula Kantor Bupati Toba di Balige.
Ketua Buruh SBSI 92, Periana Hutagaol secara tegas meminta keberadaan pemerintah sangat penting karena atas kejadian di Desa Natumingka cukup menjadi ancaman bagi kalangan buruh.
"Kami menilai keributan secara sengaja dimunculkan oleh sekelompok orang tertentu tanpa memikirkan kepentingan banyak orang khususnya buruh. Dalam hal ini pemerintah supaya turun mencaritau dan membuat keputusan sifatnya objektif tanpa tekanan maupun desakan," ucapnya.
Pangeran Marpaung sebagai buruh di PT TPL menyampaikan PT TPL telah banyak berbuat demi kemajuan masyarakat dan pencegahan covid-19 ditambah pemberdayaan warga sekitar.
"Bukankah selama ini PT TPL selalu berbuat baik? Apa hanya karena hasrat oleh oknum yang tidak terpenuhi sehingga nasib banyak orang terlantar dan menyerukan supaya PT TPL ditutup? Bahkan penanganan dan pencegahan covid-19 perusahaan telah maksimal berbuat bagi masyarakat," ucapnya.
Demikian hasil sementara investigasi sejumlah media terhadap permasalahan yang dialami perusahaan dan dibenturkan dengan masyarakat. Pemerintah selaku pengawas dan pelaksana regulasi kebijakan, sebaiknya segera mengambil langkah dalam menengahi perselisihan ini. Tidak hanya pengawasan terhadap perusahaan, pemerintah juga perlu melakukan pengawasan terhadap kinerja LSM penyebar isu tanpa fakta, hingga membenturkan permasalahan kepada masyarakat. Semoga (Red/W)